Tanggal belasan Desember 2011 langit-langit di kota memberi pesona alam yang teramat indah. Tuhan memang baik hati, kekuasaann ciptaan-Nya ditampakkan di setiap malamnya. Langit malam dengan arakan awan, kedipan bintang-bintang, rembulan yang bersinar sangat terang. Tiupan angin kala malam, menarikan lambaian pepohonan yang berdiri tegak di sekitar rumah. Alam raya tempat berpijak seolah mengubah statusnya menjadi negeri dongeng.
Raut alam rupanya tengah bersuka cita. Memasuki fase negeri dongeng yang dijadikan impian anak-anak kecil. Andai saja usia ini masih tergolong kelompok anak kecil, pastinya aku akan berselancar setiap malam di negeri itu. Berlari sana-sini mengikuti arahan bulan yang semakin jauh, sesekali memainkan ekor kucing kesayanganku, sampai akhirnya tanganku terkena sebuah cakaran.
Tapi sayang seribu sayang, skenario sang sutradara memutuskan kalau aku tidak lagi berperan sebagai anak kecil. Katanya aku sudah tidak pantas lagi memerankan tingkah polah anak kecil. Aku yang sekarang lebih pas berperan sebagai wanita dewasa. Sedikit kecewa, tapi mencoba berpikir positif bahwa inilah kesempatan terbaik yang mungkin akan menjadikanku best actrees di tahun ini.
Cerita dimulai dari pemilihan pemain, di mana akan menjadi lawan, rekan, sampai pada pasangan mainku. Seleksi alam perfilman menghadiahkan seorang lelaki asing sebagai pasanganku dalam cerita kali ini. Laki-laki yang tak pernah kutemui dalam perjalanan hidupku. Baru kali ini di tiga perempat tahun 2011.
Takdir membawaku berbelok pada suasana yang tak pernah terbayang sedikit pun. Menyadarkanku bahwa negeri dongeng memang sudah tak layak. Aku yang baru, saatnya merengkuh pergaulan dalam sistem yang berlainan. Sistem yang terkadang sangat bersahabat, bahkan sering sangat kontra dengan kemauanku.
“Yah, mau tak mau aku harus siap. “. semangat setengah menggebu dalam batin. Takdir harus dijalani bukan dihindari. Tinggal sejauh mana kemampuan mengarahkan nasib ini. Apakah akan memberikan semburat tawa lepas semisal pengalamanku ketika berperan sebagai anak? Ataukah hanya tetesan mutiara tak bening, yang akan menganak sungai mengaliri darah dalam tubuh?
Pertemuan pertama dengannya terasa biasa saja. Lama-kelamaan ntah mengapa hati ini selalu berdebar dan sangat senang bila berjumpa dengannya. Suara khas kelelakiannya terngiang slalu di kedua kupingku. Yah, lelaki yang kupanggil Bapak. Bapak, bukan bapak kandung yang bekerja sama dengan ibuku di setiap malam untuk menghasilkan seorang anak. Bapak yang satu ini masih muda, hanya rentang usia 2 tahun denganku.
Satu pengalaman manis yang dituliskan sang sutradara dalam naskahnya, pengalamanku dengan Bapak. Ia mengajakku bermain ke rumahnya, mungkin biasa saja baginya, tetapi luar biasa bagiku. Dalam peranku sebagai wanita dewasa, baru kali ini aku bisa berkenalan dengan orang tua dari seorang lelaki dewasa. Bapak dan aku bicara dalam sebuah ruang, lagu Iwan Fals berjudul Izinkan Aku Menyayangimu menjadi backsound pembicaraan kita. Leluconmu menggelitik perutku. Sepertinya cacing-cacing perut yang tengah tidur siang terbangun sesaat karena tempat mereka bersemayam mengalami guncangan.
Singkat cerita, Bapak menyatakan perasaan suka padaku. Aku yang waktu itu masih merasa sakit dengan yang namanya kehilangan cinta, tampak merasakan dua perasaan yang pro kontra. Di satu sisi aku sangat bahagia, di sisi lain aku takut. Takut jika harus sakit lagi dengan sebuah percintaan. Namun aku yang kala itu, memang sedang membutuhkan seseorang untuk mengembalikan kecerianku yang sempat hilang.
Hari-hariku terasa indah. Rasa yang sama mulai kurasakan dengannya. Bapak memperbaiki kotak tertawaku yang sempat masuk ruang reparasi. Kali ini, setiap waktu mataku bisa beradu dengan kedua matamu. Lokasi syuting yang sutradara tentukan menjadi tempat peraduan kita. “ Terima kasih, Tuhanku.”
Sedikit demi sedikit kau ajari aku cara memutari roda kehidupan. Roda tak selamanya di atas, ada saatnya harus di bawah. Kemampuan aktingku dipertaruhkan dalam rangkaian episode ini. Percakapan ngulon ngidul ketika kita bertemu di luar lokasi syuting utama. Sempat kita bicarakan calon nama anak kita. Walau itu masih jauh, seperti katamu aku harus sabar dan menunggu 3 tahun lagi. “Sing sabar ya say!”
“Konyol juga yah!” .celetukku. Bukan suatu promosi tapi percayalah jika kau memang benar-benar serius aku pun sama. Aku tak pernah setengah hati mencintai, aku tak harus menyisakan separuh nafas untuk menyebut namamu, aku pun takkan berperan setengah episode untuk hadir dalam cerita perjalananmu.
Ada sebuah hari yang kutunggu, yaitu saat kau berulang tahun usia ke- 24. Aku mencari sebuah hadiah yang ingin kukadokan untukmu. Ini adalah kali pertamanya aku memberikan hadiah pada seorang lelaki di waktu pertambahan usianya. Tadinya ingin kuberi langsung padamu, tapi lagi-lagi keberanianku hanya setitik tinta pada sebuah kertas. Kutitipkan saja pada salah satu temanku dan tentunya temanmu juga.
Gunung es yang megah bertahta di hatiku mulai mencair pada momen ulang tahunmu. Sebuah momen yang kukira ‘kan menjadi momen terindah bagi kita, tidak sama sekali terjawab. Responmu biasa saja.
“Tak bisakah sedikit kau menghargaiku?” Dimana kau tempatkan aku dalam hatimu?” akalku berpikir dan hati penuh tanya.
Kau tetap sibuk pada segala urusanmu. “Memang itu tanggung jawab aku paham, tapi tidakkah kau punya 5 menit saja untuk menemuiku.!”
Mulai dari sanalah keindahan yang kurasa dalam episode perkenalan, memudar pada fase pemunculan klimaks. Masa-masa indah itu tak ada lagi. Bagiku kau tak punya hati. Datang dan pergi seenaknya. Aku yang salah dan bodoh, terlalu percaya pada kelakuan dan pernyataan-pernyataanmu. Selalu saja kau tak pernah meluangkan waktu khusus untukku. Walau saat itu aku tengah sakit. Mata ingin melihatmu, telinga ingin mendengar suara kelelakianmu, tangan ingin memegang tangan kekarmu, bibir ingin dicumbu dengan kecupan hangatmu. Kenyataaan menyudahai impian-impianku saat itu. Kau tak datang padaku. Guyuran hujan kau kambinghitamkan.
Hampir dua pekan, komunikasi antara kita tiada lagi. Latar tempat yang menjadi lokasi syuting pertemuan kita sekaligus menjadi lokasi perpisahan. Kita ada pada ruang yang sama, tujuan lembaga yang mirip, namun tak sedikit pun menjadi peluang untuk menyatukan keindahan dulu lagi. Padahal jika kau dan aku melangkah, peraduan mimpi-mimpiku ‘kan sempurna. Kesempurnaan mencintaimu, kerinduan menyayangimu. Aku kangen sayang. Setiap kutidur, wajahmu selalu hadir. Kesadaran hanya menjadi penyiksa batinku.
“Itu mimpi, itu mimpi. Pelukan, kecupan, obrolan, pertemuan sebatas bunga tidur.” lirihku dalam hati. Air mataku kembali berlinang, karenanya.
“Apakah aku harus menyalahkan Sang Sutradara? Ah, nistanya aku jika harus berteriak menimpakan kesalahan pada Sang Sutradara. Dia Maha Tahu, ini skenario yang harus ada dalam filmku.” sedikit tanya terjawab dengan sisa imanku.
Kau memang lelaki berparadigma logika sedangkan aku berazas hati nurani. Kerasmu tak melengkapi lembutku. Substitusi, komplementer, kita tak pernah terumuskan dalam ilmu ekonomi. Pemikiran kita ‘tak sama, kukira ada jalan penyambung putusnya jalinan cinta kita yang hanya sebatas umur jagung.
“Aku tak mau bertanya padamu sayang. Dulu aku menganggapmu biasa saja, tapi saat bunga-bunga cintaku mekar, kau pergi bersama hujan. Pemberian kemarau panjangmu, membuatku teramat tandus.” hati dalam hatiku terus bergema.
“Apakah jalan ini menjadikan penobatanku jadi best actress? Pemeran wanita protagonis, karakter melankolis, film berdurasi pendek. Penghargaan yang tak berharap secuil pun. Kehilangan dalam sebuah karya nonfiksi. Lagi-lagi aku, dan aku.
Suguhan liburan panjang, mungkin ‘kan kujadikan sebagai usaha keras untuk melupakanmu Pak. Tanggung jawabku selama kurang lebih seminggu, akhirnya selesai juga. Diliputi tawa dan duka dari anak-anakku yang harus menerima sebuah hasil dari kerja kerasnya. Pengalaman pertama, teramat berharga bagiku untuk membagikan laporan bersampul biru. Lukisan angka dengan pendeskripsiannya menjadi kado yang dinantikan anaka-anakku.
Sang Sutradara memisahkan kita dalam lokasi yang berbeda dalam dua pekan ini. Setting seperti ini membuatku dilema. Terakhir kita bersama, aku harus menerima kepulan asap rokokmu yang menguap tepat pada mukaku., aku hanya bisa mendengar laju motormu, melihat sekelebat bayangmu di bawah matahari siang itu. Yah, dengan sedikit kekuatanku, aku pun harus menyuruh kedua kakiku untuk berjalan pergi. Meninggalkan tempat kemesraaan dan pertikaian kita.
Usaha keras dua pekan ini pastinya akan terasa sangat berat. Pertama mengubah jati diriku. Pemberontakan sikap yang bermuasal dari hati yang lemah. Mencari kesenangan dengan orang-orang asing. Untungnya secuil buah iman masih bergelayut di dadaku. Lebih besar dari buah dada para wanita bersilikon.
“Ntah apalagi yang akan kulakukan Pak. Kerinduanku tak terbalas lagi seperti dulu. Gertakanmu, membuat puing-puing kasihku lenyap. Aku harus merasakan tusukan sisa-sisa duri yang terhampar ditinggal mati bunga-bunga yang pernah tumbuh.” melemah denyut hatiku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar